Ibu Tiri/ayah tiri ( pikir sebelum menjatuhkan pilihan)
Ada suatu kejadian yang memang realita, bukan hanya sekedar bacaan saja, tetapi benar-benar nyata.
Mungkin kita masih belum yakin dan percaya bahwa anak-anak seumur 9-11 tahun ( seperti umur anak-anak saya), sudah sangat mengerti akan apa itu arti "broken home".
Anak-anak kita bisa melihat dari realita kehidupan yang ada disekelilingnya, ia akan melihat kehidupan
dari teman-temannya.
Anak saya yang perempuan umurnya 11 thn lebih (mungkin karena ia perempuan lebih cepat dewasa dalam berfikir kali,ia sudah cukup mandiri, bisa masak, bisa cuci, gosok, bersihkan rumah dan jaga adik-adiknya), bahkan ia sudah bisa menilai mana RT yang baik, mana yang tidak baik.Ia pernah bilang kesaya :
" Mama,..kasihan yah si B..itu(temannya maksudnya)".
Kenapa saya tanyakan: " Itu mama,..sama teman-teman sering pandang yang tidak enak padanya..".
"Kenapa memangnya, apa yang telah ia lakukan" , saya tanya lagi:
" Itu Mama,.teman-teman jadi buah pertanyaan darimana datang adiknya yang kecil, sementara ibunyakan tidak kelihatan hamil sebelumnya..?", ternyata itu adalah anak dari istri ayahnya yang lain.".
Satu realita lagi, yang benar-benar saya dengar dari berbagai mahasiswi yang ada di Al Azhar ini, juga
teman-teman saya langsung, mengatakan betapa pahitnya hati, teriris bagai sembilu merasakan kedua orang tuanya berpisah, dan ayah mereka menikah dengan perempuan lain, dan hidup bersama mereka, melihat sang ayah berdua bersama ibu, yang bukan ibu kandung mereka, apalagi kalau maaf (tempat tidur) yang biasa ditiduri ibu mereka di tiduri oleh ibu tiri mereka, sakit dan teriris sekali jiwa mereka, namun mereka tidak mampu berkata, karena mereka masih menopang ekonomi pada sang ayahnya, hanya perasaan sakit yang mereka simpan sampai mereka dewasa, apalagi bila melihat sang ayah bermesraan dengan ibu tirinya, sementara sang ibu masih hidup dan menderita akibat disakiti sang ayah".
Bagaimanapun hati sang anak tentu lebih mengingat ibu kandung yang melahirkan mereka, hanya saja mereka belum mampu untuk berbicara, karena mereka masih lemah saja dan tergantung ekonomi dengan ayahnya.Dan ini sangat banyak terjadi, sayang sang ayah tidak menyadari akan jiwa yang ada didalam hati anak-anaknya.Lain hal bila kenyataannya sang ibu meninggal dunia.Ini cukup berbeda, yang kita bicarakan adalah ortu yang broken home, atau bercerai, masih hidup kedua-duanya.
Mungkin kita pernah baca, atau belum pernah baca, tentang latar belakang penulisan buku " Untuk apa ada jenis kelamin".Maaf saya lupa penulisnya. Namun ketika ditanyakan kepadanya, kenapa ia sampai menulis semacam itu, tidak memandang sisi agama Islam?
Apa jawabnya : " Saya memang menulis itu, bukan dipandang dari sisi agama, karena didikan saya
semenjak kecil tidak ada agama yang diberikan kedua orang tua saya, dan yang saya saksikan sepanjang detik-detik hari saya adalah ayah hidup senang bersama "perempuan-perempuannya", "istri barunya", sementara ibu sayapun melakukan hal yang sama juga, terkadang saya melihat ibu saya menderita. Saya tidak melihat dalam lingkungan saya selain hal-hal semacam itu, makanya terlahirlah tulisan dari kenyataan pahit yang saya rasakan.
Adakah kisah ibu tiri yang baik terhadap anak-anak tirinya. Ada,..tetapi satu diantara....kesekian. Pada umumnya bila sang ibu tiri belum mempunyai anak yang terlahir dari rahimnya sendiri, atau memang tidak bisa hamil( mandul), atau memang dia seorang wanita yang memiliki sifat penyayang dan pemurah pada siapapun, tidak judes, cerewet, apalagi pelit terhadap siapapun.
Watak ibu tiri akan kelihatan bila ia memiliki anak dari rahimnya sendiri, atau berselang beberapa tahun
kemudian, bila ia telah merasakan sang ayah sudah berada ditangannya(dikuasainya), sang ayah tunduk atas perintah/kemauan sang ibu tiri.
Saya punya teman saat ini lho, jadi bukan sekedar cerita belaka, yang dianya adalah istri yang"kedua"
dari suaminya, tetapi istri pertama suaminya sudah meninggal dulu, baru ia menikah dengan suaminya ini. Ada beberapa teman yang bertanya padanya, bagaimana menjadi istri kedua(dari suami yang sudah meninggal istri pertamanya, bukan bercerai, karena kondisi broken home beda dengan meninggal).Bagaimana sikapnya terhadap anak-anak suaminya ini?
Ia jawab dengan jujur sekali " Yah jelas beda dong, ngak sama anak kandung dengan anak tiri. Itupun saya mau, karena istrinya sudah meninggal, kalau mereka cerai, saya tidak akan mungkin mau menikah
dengannya,saya suruh balik ke istrinyalah, kecuali kalau memang sudah tidak ada lagi lelaki yang mau sama saya, atau ada yang mau, tetapi hidupnya miskin, tentu saya pilih yang lebih kaya.Apalagi kehidupan zaman sekarang ini, zaman uang susah didapat, tentu pilih suami lebih kaya, walaupun jarak umur sangat jauh bedanya.
Yah..saya pasti memilih demi keuntungan diri saya sendiri dong, mana adalah atau jarang sekali perempuan yang mau menikah untuk kepentingan anak-anak tirinya atau kepentingan suaminya, pasti untuk dirinya
sendirilah.."( itu jawabnya dengan jujur dan polos sekali, dan teman saya ini baik orangnya, shalihah,
alim, kuat agamanya, itulah penuturannya secara jujur).
Jadi jalan terbaik dalam hidup ini semacam apa sih..?
Seharusnya kita mempertahankan pilihan pertama yang telah kita miliki, bukankah dari awal kita sudah
menjatuhkan pilihan teman hidup kita, perempuan yang akan menjadi ibu dari anak-anak kita, mengapa setelah perjalanan hidup sedemikian panjang, anak telah keburu banyak, kita harus berpisah, harus bercerai..?
Kenapa tidak dari awal kita memandang dan mengikuti ajakan agama Islam, yang menyuruh kita menikahi perempuan dari sisi agamanya? Kenapa setelah memiliki anak-anak (banyak lagi)sampai timbul rasa benci, bosan, kenapa tidak dari awal sebelum pernikahan.
Akan cari istri baru lagi, mecari masalah baru lagi, dan tentu belum tentu lebih baik dari istri pertama,
khawatir lebih buruk, atau baik bagi kita, jelas tidak baik untuk anak-anak kita.
Anak sudah keburu banyak, tidakkah kita memandang maslahat dan perasaan anak-anak kita di masyarakatnya, jiwa anak-anak melihat RT ortunya broken home, perkembangan mental anak, tidakkah kita perhatikan, apakah anak-anak hanya cukup dengan kebutuhan material saja? Jangan salahkan anak bila kelak dewasanya, ia akan hidup dalam keadaan timpang, hidup memandang materil segalanya, karena kehidupan yang dirasakan dari didikan ortunya adalah sedemikian rupa.
Dan ini akan berbeda, bila istri pertama belum kita kenal benar, bisa jadi pilihan orang tua kita dulunya,
yang jelas kita belum mengenal pribadinya secara utuh, dan anak baru satu atau maksimal dua, sementara istri orang tidak baik, pelit, judes, cerewet, tukang ngatur suami, egois dan segala macam sifat buruk lainnya, ngak kuat lagi agamanya. Tidak menjadi masalah untuk dicerai, dan diganti dengan yang jauh lebih shalihah, dan untuk kemaslahtan anak-anak demi pendidikan agama dan jiwa mereka, sehingga tumbuh dan berkembang lebih baik.
Yang dikhawatirkan, bahkan yang sering terjadi malah, adalah pengganti ibu mereka lebih parah, lebih judes, pelit dan jelek lakunya ketimbang ibu kandung mereka, apakah semua itu tidak difikirkan sebelumnya, apakah jiwa anak-anak tidak menjadi buah perhitungan orang tua sebelumnya?.
Seharusnya dari awal ketika umur masih muda, masih belum merajut mahligai RT, yang harus di fikirkan matang-matang adalah memilih calon ibu/ahay juga tentunya dari anak kita semacam apa. Bila telah tua, dan sudah keburu anak banyak, sayang sekali kasihan anak-anak kita, perhatikanlah kemaslahatan jiwa dan perkembangan mental dan phisiknya. Sekali lagi pembicaraan ini diluar konteks istri/suami meninggal dunia, tetapi pembicaraan masih dalam konteks " RT yang broken home".
Yang semoga menjadi renungan kita bersama (terutama buat yang belum menikah), juga yang sudah menikah dalam memilih pasangan hidup kita.
Ada sebuah kata : " Perempuan itu adalah tiang negara, bila baik perempuan dinegara itu, baiklah negaranya, bila buruk maka buruklah negaranya"
" Di balik keberhasilan seorang pria yang maju dibelakangnya pasti ada perempuan agung, begitupun
sebaliknya, dibalik keberhasilan perempuan maju, tentu dibelakangnya adalah suami yang baik".
" Pasangan hidup kita adalah cerminan dari diri kita juga"
Allah berfirman kira-kira begini terjemahannya: "
Lelaki baik, adalah untuk perempuan yang baik juga,
perempuan yang baik untuk lelaki yang baik juga"